Rabu, 11 Mei 2011

Antara Wahyu dan Ijtihad Rasul SAW


Tentang ijtihad para Nabi ini terdapat didalam Al Qur’an tatkala Nabi Daud dan Sulaiman memutuskan perkara terhadap seekor kambing yang memakan tananman orang lain, didalam firman-Nya :
وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ (٧٨) فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ (٧٩)
Artinya : “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan kamilah yang melakukannya.” (QS. Al Anbiya : 78 – 79)
Al Qurthubi mengatakan bahwa ada suatu kaum yang mengatakan bahwa Daud dan Sulaiman as adalah dua orang Nabi yang memutuskan dengan wahyu yang diturunkan kepada mereka berdua. Daud memutuskan dengan wahyu dan Sulaiman juga memutuskan dengan wahyu yang menghapuskan keputusan Daud. Karena itulah firman-Nya “فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ “ (Maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentangnya) artinya melalui wahyu yang menghapuskan apa yang diwahyukan kepada Daud serta memerintahkan Sulaiman untuk menyampaikan hal itu kepada Daud, karena itu firman-Nya : وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا “ (dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu), ini adalah perkataan sebagian ulama diantaranya Ibnu Furk.
Sedangkan Jumhur mengatakan sesungguhnya keduanya memutuskan dengan berijtihad. Al Qurthubi mengatakan bahwa pebedaan antara ijtihad para Nabi dengan para mujtahidin selain mereka adalah bahwa para Nabi itu merupakan orang-orang yang terjaga dari kesalahan dan kekeliruan serta kekurangan didalam ijtihad mereka berbeda dengan selain mereka. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid VI hal 279 – 280)
Markaz al Fatwa tatkala ditanya : Apakah ijtihad Nabi saw sama dengan ijtihad selainnya ? maka dijawab : bahwa para ulama telah bersepakat bahwa dibolehkan bagi Nabi saw berijtihad didalam berbagai urusan yang mengandung kemaslahatan dunia, strategi peperangan dan selainnya, hal ini adalah ijma’ menurut Salim ar Roiy dan Ibnu Hazm, seperti perdamaiannya saw dengan Ghatafan dengan sepertiga buah-buahan Madinah, menempatkan pasukan pada saat perang Badar dan yang lainnya.
Adapun ijtihad didalam hukum-hukum syar’iyah dan perkara-perkara agama maka terjadi perselisihan diantara para ulama menjadi tiga pendapat :
1. Beliau saw tidak berijtihad dikarenakan kemampuannya berdasarkan nash dengan diturunkannya wahyu.
2. Tidak memberikan komentar sedikit pun dalam hal ini. ash Shairofiy memperkirakan didalam “Syarh ar Risalah” bahwa ini adalah madzhab Syafi’i karena Syafi’i pernah menceritakan beberapa pendapat namun dirinya tidaklah memilih satu pun darinya. Dan hal itu menunjukkan bahwa dirinya tidaklah memiliki pendapat. Pendapat ini juga dipilih oleh al Baqilani dan Abu Hamid al Ghazali.
3. Diperbolehkan bagi Nabi saw untuk berijtihad didalam hukum-hukum syari’yah dan perkara-perkara agama, dan inilah pendapat jumhur ahli ilmu. Mereka berdalil bahwa Allah saw telah berbicara kepada Nabi-Nya sepertihalnya Dia swt berbicara kepada hamba-hamba-Nya, memberikan berbagai perumpamaan, memerintahkannya untuk tadabbur dan mengambil pelajaran dan beliau saw lah merupakan mufakkir yang paling ulung dan orang yang paling cerdas dalam mengambil berbagai pelajaran.
Dan apabila dibolehkan dari umatnya untuk berijtihad jika memang orang itu memenuhi persyaratan berijtihad—menurut ijma—padahal kemungkinan terdapat kesalahan maka lebih utama lagi pembolehan itu bagi seorang yang diperkuat oleh wahyu dan terlindung dari kesalahan.
Apabila Nabi saw beijtihad didalam suatu hukum, apabila dia benar maka itu menjadi sebuah ketetapan. Dan jika beliau saw mengalami kesalahan maka tidaklah menjadi ketetapan dan turunlah wahyu yang menjelaskan tentang permasahalan itu.
Contoh-contoh didalam hal ini amatlah banyak, seperti : ijtihadnya beliau saw didalam permasalahan tawanan Badar dan pengambilan tebusan dari mereka…
Ringkasnya bahwa Nabi saw berijtihad didalam hukum-hukum syar’iyah yang tidak terdapat nash didalamnya. Apabila beliau telah menetapkan ijtihadnya maka wajib untuk diikuti dan tidak boleh dilanggar bagaimana pun keadaaannya. Karena itu setiap yang ditetapkan berasal dari Nabi saw maka ia adalah benar dan tidak ada keraguan didalamnya maka ia adalah wahyu dari Allah swt. dan barangsiapa yang memisahkan antara hal ini dengan wahyu. (Fatawa as Sabakah al Islamiyah juz II hal 1251)
Beberapa contoh ijtihad Rasulullah saw :
Terdapat riwayat bahwa Nabi saw pernah menggunakan qiyas (analog) didalam ijtihadnya. Didalam shahih Bukhori disebutkan bahwa seorang wanita dari Juhainah berkata kepada beliau saw,”Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk berhaji akan tetapi dia belum berhaji hingga meninggalnya. Apakah aku berhaji baginya?’ Beliau saw menjawab,”Berhajilah baginya. Bukankah seandainya ibumu memiliki utang maka engkau harus memabyarkannya? Tunaikanlah sesungguhnya utang terhadap Allah lebih utama untuk ditunaikan.”
Didalam riwayat Muslim bahwa seorang laki-laki datang dari daerah Jaisyani—di Yaman—lalu bertanya kepada Rasulullah saw tentang minuman yang mereka minum di negeri mereka yang berasal dari jagung yang mereka namakan dengan “al Mizr”. Beliau saw bertanya kepada oang itu,”Apakah minuman itu memabukkan?” orang itu menjawab,”Ya.” Dan Nabi saw bersabda,”Setiap yang memabukkan adalah haram.”
Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar